BAACA.ID - Sri Langka menjadi negara yang bangkrut usai mengumumkan tidak bisa membayar utang luar negeri senilai senilai 51 miliar dollar AS (Rp 732 triliun). Ini menjadi krisis ekonomi terparah yang dialami sejak merdeka pada 1948. “Kami telah sampai pada situasi di mana kemampuan untuk membayar utang kami sangat rendah. Itu sebabnya kami memutuskan untuk melakukan preemptive default,” kata gubernur bank sentral. Pemerintah sebelumnya telah mengatakan Sri Langka mengalami krisis besar dan mengerikan karena dampak pandemi COVID-19 dan dampak dari perang Rusia di Ukraina. Krisis ini dimulai dari ketidakmampuan mengimpor barang-barang penting setelah pandemi COVID-19, menekan pendapatan dari pariwisata, dan pengiriman uang.
Makanan dan BBM Langka, Litrik Padam Berjam-jam
Akibat krisis terjadi rakyat pun harus mengalami situasi buruk. Mereka mengalami kekurangan makanan, obat-obatan dan bahan bakar. Kekurangan bahan makanan dan obat-obatan penting ini terjadi di seluruh negeri. Antrean panjang terjadi di luar stasiun pengisian bahan bakar, sementara orang-orang juga harus mengantre berjam-jam di tengah cuaca panas untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok seperti tabung gas, meski kadang berakhir dengan tidak mendapatkan apapun. Tidak memiliki cukup uang membuat negara tidak mampu membeli barang-barang penting seperti bahan bakar untuk menggerakkan kendaraan atau bahkan menghasilkan listrik. Akibatnya, pengelola listrik negara itu memberlakukan pemadaman yang semakin lama. Listrik sering dimatikan selama 13 jam. Beberapa hari kemudian, pemadaman listrik berlangsung sampai 16 jam. Baca Juga:- Penembakan Brutal Terjadi di Stasiun Kereta Api di New York
-
PM Pakistan Imran Khan Digulingkan Lewat Mosi Tidak Percaya Parlemen